Minggu, 23 Februari 2020

Roadtrip Mudik ke Bali (Bagian 2)

==Sabtu 22 Juni 2019==
Di Desa saya (Desa Sidan) upacara Ngaben biasa dilakukan mulai jam 13.00. wita (entahlah di Desa lain), dengan konsekwensi, seluruh rangkaian Upacara tersebut baru akan berakhir jam 21.00 wita setelah melarung abu jenasah ke laut.

Desa Sidan ini terletak di perbatasan Kabupaten Gianyar dengan Kabupaten Bangli, memiliki 7 Banjar (setingkat dusun), dimana Banjar sayalah yang posisinya paling utara (berbatasan langsung) dengan Kab Bangli.
Saya masih satu Desa dengan misan saya yang akan diaben, tapi berbeda Banjar, dengan jarak antar rumah kami hanya 300 meter saja. 

Soroh (Klan) kamipun berbeda, karena yang kakaknya bapak saya adalah Ibu dari misan saya (pihak wanita tidak membawa nama klan).
Misan saya memiliki Soroh Pasek Kayu Selem (Bali Aga / Bali asli) dari garis keturunan Bapaknya dan saya soroh Keramas (Bali Majapahit) yang masuk ke Bali tahun 1350 masehi, setelah ditundukkannya kerajaan Bedahulu (Bali Kuno / Aga) dibawah Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa oleh Majapahit dibawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada pada jamannya Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (emaknya Hayam Wuruk), dimana Leluhur saya sendiri, sebenarnya berasal dari Desa Pakis, Kecamatan Kunjang, Kediri - Jawa Timur.

Sedikit unik, mengetahui sejarah asal usul leluhur saya, yang bahkan leluhur Anduang (nenek saya dari pihak Ibu) yang orang Minang, ternyata juga berasal dari Madiun - Jawa Timur yang ke Sumatra Barat tahun 1832 sebagai pejuang Padri. (menurut tulisan tangan senacam Tambo Minangkabau yang saya temukan).

Sekitar Jam 12.30, di Pura Dalem, Sidan sudah ramai orang berkumpul.
Persiapan di Pura Dalem
Foto dibawah ini Iwa Taker, adalah Bapak dari 2 kakak misan saya yang akan diaben, sungguh sedih melihatnya, setelah istrinya (kakaknya Bapak saya) meninggal, dia harus kehilangan 2 anak laki yang nomer 1 dan 2 dalam waktu yang berdekatan.
Dia berulang ulang mengucapkan yang kalau diterjemahkan :"Semua anak anak mendahului saya"..padahal dia masih memiliki 2 anak lagi nomer 3 laki dan yang bungsu  (nomer 4) perempuam, sayangnya kedua anaknya tersebut tinggal di Jakarta.
Iwa Taker
Anak perempuan yang baju biru itu, anak ke 2 dari 3 anak salah satu misan saya yang akan diaben dan memegang foto ayahnya, sedangkan anak laki di sebelahnya Cucu Iwa Taker dari anak bungsunya yang memegang foto Uwaknya.

Sedikit berceritra tentang Upacara Ngaben, sebenarnya terbagi 5 Jenis:
1) Ngaben Sawa Wedana ----> Melibatkan jenasah yang masih utuh.
2) Ngaben Asti Wedana -----> Melibatkan jenasah yang pernah dikubur dahulu atau istilahnya Makingsang Ring Pertiwi (dititipkan ke Ibu Pertiwi)
3) Ngaben Swasta ---> tidak melibatkan jenasah atau tulang belulangnya sama sekali, biasanya untuk korban kecelakaan yang jenasahnya tidak ditemukan atau meninggal di luar negeri. Tapi ada juga beberapa Desa di Bali yang Ngabennya tidak melibatkan jenasah, sedangkan jenasahnya dikubur.
4) Ngelungah ---> Untuk bayi yang belum tanggal gigi
5) Warak Kuron ---> Untuk bayi keguguran

Ke 2 Misan saya juga tidak melibatkan kehadiran jenasah utuh, yang satu sempat dikuburkan dahulu setahun sebelumnya (Makingsang Ring Pertiwi) dan satu lagi meninggal sebelulan yang lalu langsung di Makingsang Ring Geni (dititipkan kepada Dewa Api) yang sekalipun sama sama dibakar, tapi berbeda dimana upacaranya lebih simple, lebih sederhana dan membutuhkan Banten yang lebih sedikit dibanding di Upacara Ngaben dan kemudian (harusnya setahun kemudian), baru akan diupacarai Ngaben bareng warga Desa lainnya (Ngaben Masal).

Karena ikut  mengangkat Bade, saya tidak sempat foto2 saat mengarak Bade, setelah tiba,di Setra baru saya sempat mengambil gambar :


Kalau tidak salah yang Badenya berbentuk Kuda itulah satu2nya yang proses Ngabennya melibatkan jenasah utuh.
Kalau terlihat lubang2 seperti bekas kuburan, itulah
bekas kuburan jenasah yang kemudian
diangkat untuk diaben.




Ada Kejadian yang tidak lazim, tapi selalu berulang, dimana saat menunggu datangnya Pedande (Pendeta Hindu Bali), saya ke Rumah Makan tepat disamping Setra dan bertemu banyak saudara serta kerabat saya yang tinggal di Jabotabek, tapi anehnya, bertemunya justru lebih sering di Bali saat Upacara2 adat dan hampir tidak pernah bertemu di Jakarta.

Disinilah letak kekuatan adat istiadat dan tradisi yang tetap menjaga silaturahmi dikalangan saudara dan kerabat, percakapanpun jadi sangat seru penuh banyolan sampai ada yang CLBK segala.

Acara melarung abu ke laut di pantai Lebih Gianyar, baru dilakukan sekitar jam 21.00 wita secara gelap gelapan hehe.



==Minggu 23 Juni 2019==
Pagi itu kami ber 6 (termasuk saya) ke Tukad Cepung, melalui jalan Desa Tusan saat berangkat yang sekalipun lebih lama karena harus melalui jalan2 Desa yang kecil, tapi pemandangan Pesawahan khas pedesaan Bali tradisionalnya sangat indah.

Kami tiba di Tukad Cepung jam 09.43 wita dan trekking turunnya hanya 15 menitan saja.

Tukad Cepung ini tiket Masuknya Rp 15.000 / 0rang (termasuk parkir mobil) dan bisa dibilang Air Terjun nya Unik, karena berada di Ujung sebuah Goa, sehingga agak sulit difotonya karena pasti backlight.

Sebenarnya tidak jauh dari Tukad Cepung ini, ada Tukad Barong (4,5 Km) yang sebenarnya berada pada satu aliran sungai dan belakangan ini malah lebih populer dibanding Tukad Cepung, tapi karena keterbatasan waktu harus mengantar saudara ke Bandara, jadinya batal kami kunjungi.

Awalnya datar, tapi kemudian menunuruni tangga curam


Aliran kali dari air terjun



Gaperlu beli Aqua



Air terjunnya dibalik Goa ini










Sehabis mengantar saudara saya ke Bandara Ngurah Rai, kami mampir ke Pantai Jerman (disamping Bandara) dan saya benar2 sedih melihat Pantai yang terakhir saya lihat oktober 2017 ini masih luas dan indah, sekarang terkena reklamasi perluasan Bandara.


Dari Pantai Jerman, kami ke Pesta Kesenian Bali (PKB) 2019 yang setiap tahunnya selalu dibuka oleh Jokowi dan kebetulan sedang Gladi Resik Gebyar Gong Wanita (Pentasnya jam 19.00 wita), dimana seluruh pemain gong dan penarinya wanita.
Seperti terbius saya disini dan sempat merekam video  (terlalu besar filenya untuk diupload), sayang kami justru tidak sempat menonton pentasnya nanti malam Karena harus mengantar 1 misan lagi ke rumah mertuanya din Peguyangan Kaja, sebelum dia kembali ke jakarta.





Peta Jalur 23.6.2019 menurut timeline Gmap




==Senin 24 Juni 2019==
Dari pagi sampai siang, saya sibuk mengantar Bapak saya, tapi akhirnya bisa meloloskan diri juga, untuk jalan jalan ke Taman Jinja dll diseputaran Besakih.

Timeline Gmap saya hari itu mulai berantakan, mungkin karena beberapa kali ke daerah yang tidak tercover signal seluler dan peta offlinenya juga saya hapus karena keterbatasan memory eksternal.
timeline 24 juni mulai ngawur

Dari Kampung saya, sengaja kami lewat jalur via Kota Bangli yang lebih indah dan tiba di Taman Jinja jam 16.14 wita.
HTM Taman Jinja Rp 10.000 / orang
Parkir = Gratis
Cantiknya Gunung Agung






Dari Taman Jinja kami naik 650 meter keatas ke Taman Edelweis dan ditengah jalan saya melihat ada jalan kecil dan curam (tapi cukup masuk mobil) yang sepertinya tembus kearah Pura Besakih.

HTM Taman Edelweis = Rp 15.000 / orang
Parkir mobil  Taman Edelweis = Rp 5.000





Sebenarnya di lokasi yang saling berdekatan ini, selain Taman Jinja dan Pondok Edelweis, masih ada beberapa obyek wisata lain, seperti : Taman Bunga Kasna (500 m diatas Pondok Edelweis), Taman Sari (250 m dibawah Pondok Edelweis), Stasiun pengamatan Gunung Agung (180 m dari Taman Kasna), Rumah Jaga Embung dll, tapi keterbatasan waktu, membuat saya harus segera bergeser ke tempat lain.

Tempat yang akan kami kunjungi berikutnya, terletak di Banjar Pejeng, Desa menanga, Kecamatan Rendang, Karang Asem yang sebagian dahulu saat erupsi Gunung Agung 2017 - 2018 masuk KRB 2 dan sebagian lagi KRB 3.
Saya langsung jatuh hati dengan tempat ini, sekalipun jalurnya curam dan bagian akhirnya jalan menuju kesini masih bebatuan yang belum diaspal...suatu waktu nanti, saya pasti akan membawa MTB kesini untuk explore lebih detail lagi.

Kami Tiba di Banjar Pejeng ini jam 17.56 wita dimana Puncak Gunung Agung yang sebenarnya dekat, sudah tidak terlihat lagi kalau dengan kamera, tapi masih terlihat jelas dengan mata telanjang.



Dari Desa Menanga kami kembali ke kampung saya di Sidan untuk menjemput Bapak saya dan langsung menuju Dalung (Denpasar), karena besok pagi kami akan kembali ke Jakarta langsung dari Dalung..

Sempat mampir ke Lawar Kambing warung Jacky di Kerobokan Kaja  yang ternyata sudah habis, kami tidak sengaja menemukan RM Chinese food (tidak jauh dari warung Jacky) dan memesan Babi kecap yang ternyata rasanya Maha dahsyat..mantab pol., inilah kelebihan etnis Tionghoa Nusantara, mereka mampu mengkombinasikan citarasa Chinese Food dan masakan Bali

Jam 21.45, saya berangkat ke Warung Kopi Kulo didaerah Gatot Subroto Barat untuk menemui rekan2 dari Komunitas Bikepacker, dimana Om Dana baru balik dari Larantuka (Ujung timur Flores) akan kembali ke Surabaya, Mang Chomenk dari Bekasi akan menuju Kelimutu yang juga di Flores (Kabupateb Ende).
Mang Chomenk ini sekalipun wajahnya terlihat 15-20 tahun lebih tua dari usia yg sebenarnya, tetapi dia Sohib saya sejak kelas 2 SD saat saya baru pindah dari Tebet ke Bekasi.

Peta jakur 24 Juni 09




Tidak ada komentar:

Posting Komentar