Senin, 24 Februari 2020

Roadtrip Mudik ke Bali (Bagian 3)

==Selasa 25 Juni 2019==

Belum puas jalan jalan di Bali kali ini, tapi kami harus kembali ke Bekasi, karena Bapak saya ada jadwal mengajar wajib hari kamis (lusa),  lagipula Bapak saya type orang yang tidak betahan dimanapun berada dan selalu terburu buru. 😅

HP saya baterainya mulai sering drop dan terpaksa saya matikan, jadi tidak ada catatan jam berapa kami start dari Dalung Permai pagi ini, tapi perkiraan saya sekitar jam 08.00 wita dan langsung ke Bangsal Gianyar, Yeh Embang di Kabupaten Jembrana yang merupakan wilayah transmigrasi lokal Bali bagi sejumlah warga asal Gianyar, itulah alasannya kenapa disebut "Bangsal Gianyar" sekalipun lokasinya justru di Jembrana.


Bapak saya ingin menengok saudara yang seumuran dengannya dan merupakan teman mainnya masa keciil, ribuan abad yang lampau.

Saudara saya tersebut jatuh dari pohon kelapa dan kemudian terkena stroke.

Ternyata daerahnya masih bagus, hijau serta asri walaupun jalannya kecil dan curam, banyak kali2 jernih  dengan pepohonan yang rimbun, menyesal saya dahulu sering menolak ajakan saudara2 untuk ke Yeh Embang ini, karena dulu pikir saya lokasinya di perkotaan (dekat Kota Negare).


Sekalipun lokasinya dipelosok (dekat Air Terjun Grojokan, Yeh Embang kauh) dan kami belum pernah kunjungi sebelumnya,  tapi lumayan mudah menemukannya.


Dari Yeh Embang, Kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Pelabuhan Gilimanuk sekitar jam 14.20 wita, beruntung mendapatkan kapal Ferry yang bagus. yaitu KMP Dharma Ferry 3 yang sebelumnya pernah 2X saya naiki ketika masih beroperasi di selat Lombok (Padang Bae - Lembar), lumayanlah bisa tidur nyaman 30 menit karena malam sebelumnya saya hanya tidur 2 jam saja.

KMP Dharma Ferry 3




Memasuki Ketapang, Bapak saya menginginkan kami lewat selatan saja, karena dia belum pernah melewati Piket Nol dan JLS Pacitan, padahal sudah saya bilang mungkin tengah malam kita baru sampai di Piket Nol dan tidak akan bisa melihat apapun, tapi yasudahlah..turuti saja.😴


Ada beberapa titik kemacetan / padat di Banyuwangi sampai Jember, seperti Rogojampi, Genteng dll yang membuat saya tidak bisa mengembangkan speed.

Diantara Genteng - Jember
Jam 18.07 wib kami tiba di SPBU Mayang , Pakusari, Jember dan cukup nyaman untuk istirahat disini yang sepertinya SPBU baru (terakhir saya lewat belum ada).

==Rabu 26 Juni 2019==

Hari ini, melalui sejumlah pertimbangan; Bapak saya akhirnya setuju kalau kita membatalkan saja niat melewati Jalan Lingkar Selatan (JLS) Pacitan, mengingat sedang wabah Hepatitis C saat itu di Pacitan dan waktu tempuh, pasti molor banyak (saya baru 2 bulan sebelumnya melewati jalur tersebut dengan motor), mungkin tengah malam atau bahkan dinihari kita baru tiba di Bekasi, padahal kamis paginya sudah harus beraktivitas normal.

Hanya diseputaran Piket Nol, timeline Gmap tidak terseteksi, karena tiada signal seluler dan data peta offline yang saya hapus, tapi diluar itu kembali normal, selama HP tidak dicabut dari chargernya.




Jam 00.40 wib kami tiba di SPBU 54.651.58  Turen (Malang Selatan). setelah melewati Pronojiwo yang cukup menghibur menghilangkan kantuk.


Kami tiba di SPBU SPBU 54.661.16 Selorejo, Blitar Jam 01.53 dan  ungkin karena malam sebelumnya saya hanya tidur 2 jam saja (itupun tidak pulas), akhirnya disini saya tidur hampir 3 jam  (01.53 - 04.57 wib).

Jam 05.50 wib kami sarapan di daerah Tulungagung


Jam 07.45 wib tiba di Bendungan Tugu, Trenggalek untuk ngopi.

Bendungan Tugu ini ditarget rampung tahun 2021 oleh pemerintah pusat.dan sekaligus akan menjadi obyek wisata.



Jam 11.14 wib untuk makan di RM Jawa Saraswati, Wonogiri, lumayanlah rasa dan harganya, tempatnya juga terbilang cukup nyaman.

Ternyata pusing juga mencari pintu masuk Tol trans Jawa dari Solo karena diputar putar oleh Polisi yang menutup jalan, padahal pintu masuk sudah didepan, malah mendadak ditutup.😠

Diantara Solo - Semarang
memasuki Pemalang, sudah tercium aroma kasur di rumah, tapi langkahi mayat..eh maksudnya; lewati kemacetan dahsyat Cikampek - Bekasi Barat terlebih dahulu.😴
Pemalang
Benar saja, memasuki Cikampek - Bekasi Barat, terjadi kemacetan parah (saat itu lagi ada proyek pembangunan), gamasalah, saya malah bisa mempraktekkan kombinasi autopilot dan neditasi kesadaran saat mengemudi:Meditasi dan Autopilot.

Sekitar Jam 19,00 wib, kami tiba di Rumah Bekasi (36 Jam).


*Kesimpulan :

- Jalur Selatan Banyuwangi - Ponorogo tidak cocok untuk touring mobil (kecuali lagi santai), lalulintas padat, sering macet dan saat kosong sekalipun sulit untuk mengembangkan speed, jarakpun menjadi lebih jauh.

Biaya Pokok

Bensin Pertalite Rp 835.000
Ferry Rp 159.000
Tol Solo - Bekasi sekitar 400.000an (lupa saldo awal)

PETA JALUR




                              



Minggu, 23 Februari 2020

Roadtrip Mudik ke Bali (Bagian 2)

==Sabtu 22 Juni 2019==
Di Desa saya (Desa Sidan) upacara Ngaben biasa dilakukan mulai jam 13.00. wita (entahlah di Desa lain), dengan konsekwensi, seluruh rangkaian Upacara tersebut baru akan berakhir jam 21.00 wita setelah melarung abu jenasah ke laut.

Desa Sidan ini terletak di perbatasan Kabupaten Gianyar dengan Kabupaten Bangli, memiliki 7 Banjar (setingkat dusun), dimana Banjar sayalah yang posisinya paling utara (berbatasan langsung) dengan Kab Bangli.
Saya masih satu Desa dengan misan saya yang akan diaben, tapi berbeda Banjar, dengan jarak antar rumah kami hanya 300 meter saja. 

Soroh (Klan) kamipun berbeda, karena yang kakaknya bapak saya adalah Ibu dari misan saya (pihak wanita tidak membawa nama klan).
Misan saya memiliki Soroh Pasek Kayu Selem (Bali Aga / Bali asli) dari garis keturunan Bapaknya dan saya soroh Keramas (Bali Majapahit) yang masuk ke Bali tahun 1350 masehi, setelah ditundukkannya kerajaan Bedahulu (Bali Kuno / Aga) dibawah Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa oleh Majapahit dibawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada pada jamannya Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (emaknya Hayam Wuruk), dimana Leluhur saya sendiri, sebenarnya berasal dari Desa Pakis, Kecamatan Kunjang, Kediri - Jawa Timur.

Sedikit unik, mengetahui sejarah asal usul leluhur saya, yang bahkan leluhur Anduang (nenek saya dari pihak Ibu) yang orang Minang, ternyata juga berasal dari Madiun - Jawa Timur yang ke Sumatra Barat tahun 1832 sebagai pejuang Padri. (menurut tulisan tangan senacam Tambo Minangkabau yang saya temukan).

Sekitar Jam 12.30, di Pura Dalem, Sidan sudah ramai orang berkumpul.
Persiapan di Pura Dalem
Foto dibawah ini Iwa Taker, adalah Bapak dari 2 kakak misan saya yang akan diaben, sungguh sedih melihatnya, setelah istrinya (kakaknya Bapak saya) meninggal, dia harus kehilangan 2 anak laki yang nomer 1 dan 2 dalam waktu yang berdekatan.
Dia berulang ulang mengucapkan yang kalau diterjemahkan :"Semua anak anak mendahului saya"..padahal dia masih memiliki 2 anak lagi nomer 3 laki dan yang bungsu  (nomer 4) perempuam, sayangnya kedua anaknya tersebut tinggal di Jakarta.
Iwa Taker
Anak perempuan yang baju biru itu, anak ke 2 dari 3 anak salah satu misan saya yang akan diaben dan memegang foto ayahnya, sedangkan anak laki di sebelahnya Cucu Iwa Taker dari anak bungsunya yang memegang foto Uwaknya.

Sedikit berceritra tentang Upacara Ngaben, sebenarnya terbagi 5 Jenis:
1) Ngaben Sawa Wedana ----> Melibatkan jenasah yang masih utuh.
2) Ngaben Asti Wedana -----> Melibatkan jenasah yang pernah dikubur dahulu atau istilahnya Makingsang Ring Pertiwi (dititipkan ke Ibu Pertiwi)
3) Ngaben Swasta ---> tidak melibatkan jenasah atau tulang belulangnya sama sekali, biasanya untuk korban kecelakaan yang jenasahnya tidak ditemukan atau meninggal di luar negeri. Tapi ada juga beberapa Desa di Bali yang Ngabennya tidak melibatkan jenasah, sedangkan jenasahnya dikubur.
4) Ngelungah ---> Untuk bayi yang belum tanggal gigi
5) Warak Kuron ---> Untuk bayi keguguran

Ke 2 Misan saya juga tidak melibatkan kehadiran jenasah utuh, yang satu sempat dikuburkan dahulu setahun sebelumnya (Makingsang Ring Pertiwi) dan satu lagi meninggal sebelulan yang lalu langsung di Makingsang Ring Geni (dititipkan kepada Dewa Api) yang sekalipun sama sama dibakar, tapi berbeda dimana upacaranya lebih simple, lebih sederhana dan membutuhkan Banten yang lebih sedikit dibanding di Upacara Ngaben dan kemudian (harusnya setahun kemudian), baru akan diupacarai Ngaben bareng warga Desa lainnya (Ngaben Masal).

Karena ikut  mengangkat Bade, saya tidak sempat foto2 saat mengarak Bade, setelah tiba,di Setra baru saya sempat mengambil gambar :


Kalau tidak salah yang Badenya berbentuk Kuda itulah satu2nya yang proses Ngabennya melibatkan jenasah utuh.
Kalau terlihat lubang2 seperti bekas kuburan, itulah
bekas kuburan jenasah yang kemudian
diangkat untuk diaben.




Ada Kejadian yang tidak lazim, tapi selalu berulang, dimana saat menunggu datangnya Pedande (Pendeta Hindu Bali), saya ke Rumah Makan tepat disamping Setra dan bertemu banyak saudara serta kerabat saya yang tinggal di Jabotabek, tapi anehnya, bertemunya justru lebih sering di Bali saat Upacara2 adat dan hampir tidak pernah bertemu di Jakarta.

Disinilah letak kekuatan adat istiadat dan tradisi yang tetap menjaga silaturahmi dikalangan saudara dan kerabat, percakapanpun jadi sangat seru penuh banyolan sampai ada yang CLBK segala.

Acara melarung abu ke laut di pantai Lebih Gianyar, baru dilakukan sekitar jam 21.00 wita secara gelap gelapan hehe.



==Minggu 23 Juni 2019==
Pagi itu kami ber 6 (termasuk saya) ke Tukad Cepung, melalui jalan Desa Tusan saat berangkat yang sekalipun lebih lama karena harus melalui jalan2 Desa yang kecil, tapi pemandangan Pesawahan khas pedesaan Bali tradisionalnya sangat indah.

Kami tiba di Tukad Cepung jam 09.43 wita dan trekking turunnya hanya 15 menitan saja.

Tukad Cepung ini tiket Masuknya Rp 15.000 / 0rang (termasuk parkir mobil) dan bisa dibilang Air Terjun nya Unik, karena berada di Ujung sebuah Goa, sehingga agak sulit difotonya karena pasti backlight.

Sebenarnya tidak jauh dari Tukad Cepung ini, ada Tukad Barong (4,5 Km) yang sebenarnya berada pada satu aliran sungai dan belakangan ini malah lebih populer dibanding Tukad Cepung, tapi karena keterbatasan waktu harus mengantar saudara ke Bandara, jadinya batal kami kunjungi.

Awalnya datar, tapi kemudian menunuruni tangga curam


Aliran kali dari air terjun



Gaperlu beli Aqua



Air terjunnya dibalik Goa ini










Sehabis mengantar saudara saya ke Bandara Ngurah Rai, kami mampir ke Pantai Jerman (disamping Bandara) dan saya benar2 sedih melihat Pantai yang terakhir saya lihat oktober 2017 ini masih luas dan indah, sekarang terkena reklamasi perluasan Bandara.


Dari Pantai Jerman, kami ke Pesta Kesenian Bali (PKB) 2019 yang setiap tahunnya selalu dibuka oleh Jokowi dan kebetulan sedang Gladi Resik Gebyar Gong Wanita (Pentasnya jam 19.00 wita), dimana seluruh pemain gong dan penarinya wanita.
Seperti terbius saya disini dan sempat merekam video  (terlalu besar filenya untuk diupload), sayang kami justru tidak sempat menonton pentasnya nanti malam Karena harus mengantar 1 misan lagi ke rumah mertuanya din Peguyangan Kaja, sebelum dia kembali ke jakarta.





Peta Jalur 23.6.2019 menurut timeline Gmap




==Senin 24 Juni 2019==
Dari pagi sampai siang, saya sibuk mengantar Bapak saya, tapi akhirnya bisa meloloskan diri juga, untuk jalan jalan ke Taman Jinja dll diseputaran Besakih.

Timeline Gmap saya hari itu mulai berantakan, mungkin karena beberapa kali ke daerah yang tidak tercover signal seluler dan peta offlinenya juga saya hapus karena keterbatasan memory eksternal.
timeline 24 juni mulai ngawur

Dari Kampung saya, sengaja kami lewat jalur via Kota Bangli yang lebih indah dan tiba di Taman Jinja jam 16.14 wita.
HTM Taman Jinja Rp 10.000 / orang
Parkir = Gratis
Cantiknya Gunung Agung






Dari Taman Jinja kami naik 650 meter keatas ke Taman Edelweis dan ditengah jalan saya melihat ada jalan kecil dan curam (tapi cukup masuk mobil) yang sepertinya tembus kearah Pura Besakih.

HTM Taman Edelweis = Rp 15.000 / orang
Parkir mobil  Taman Edelweis = Rp 5.000





Sebenarnya di lokasi yang saling berdekatan ini, selain Taman Jinja dan Pondok Edelweis, masih ada beberapa obyek wisata lain, seperti : Taman Bunga Kasna (500 m diatas Pondok Edelweis), Taman Sari (250 m dibawah Pondok Edelweis), Stasiun pengamatan Gunung Agung (180 m dari Taman Kasna), Rumah Jaga Embung dll, tapi keterbatasan waktu, membuat saya harus segera bergeser ke tempat lain.

Tempat yang akan kami kunjungi berikutnya, terletak di Banjar Pejeng, Desa menanga, Kecamatan Rendang, Karang Asem yang sebagian dahulu saat erupsi Gunung Agung 2017 - 2018 masuk KRB 2 dan sebagian lagi KRB 3.
Saya langsung jatuh hati dengan tempat ini, sekalipun jalurnya curam dan bagian akhirnya jalan menuju kesini masih bebatuan yang belum diaspal...suatu waktu nanti, saya pasti akan membawa MTB kesini untuk explore lebih detail lagi.

Kami Tiba di Banjar Pejeng ini jam 17.56 wita dimana Puncak Gunung Agung yang sebenarnya dekat, sudah tidak terlihat lagi kalau dengan kamera, tapi masih terlihat jelas dengan mata telanjang.



Dari Desa Menanga kami kembali ke kampung saya di Sidan untuk menjemput Bapak saya dan langsung menuju Dalung (Denpasar), karena besok pagi kami akan kembali ke Jakarta langsung dari Dalung..

Sempat mampir ke Lawar Kambing warung Jacky di Kerobokan Kaja  yang ternyata sudah habis, kami tidak sengaja menemukan RM Chinese food (tidak jauh dari warung Jacky) dan memesan Babi kecap yang ternyata rasanya Maha dahsyat..mantab pol., inilah kelebihan etnis Tionghoa Nusantara, mereka mampu mengkombinasikan citarasa Chinese Food dan masakan Bali

Jam 21.45, saya berangkat ke Warung Kopi Kulo didaerah Gatot Subroto Barat untuk menemui rekan2 dari Komunitas Bikepacker, dimana Om Dana baru balik dari Larantuka (Ujung timur Flores) akan kembali ke Surabaya, Mang Chomenk dari Bekasi akan menuju Kelimutu yang juga di Flores (Kabupateb Ende).
Mang Chomenk ini sekalipun wajahnya terlihat 15-20 tahun lebih tua dari usia yg sebenarnya, tetapi dia Sohib saya sejak kelas 2 SD saat saya baru pindah dari Tebet ke Bekasi.

Peta jakur 24 Juni 09




Sabtu, 22 Februari 2020

Roadtrip Mudik ke Bali (Bagian 1)

Sehubungan, ada beberapa rekan yang sering bertanya tentang roadtrip Jakarta - Bali dengan mobil, maka kali ini saya murtad sejenak dan mencoba menuliskan pengalaman pribadi mengemudi mobil Jakarta - Bali yang sebenarnya justru lebih dahulu saya lakoni sejak SMA (sesudah memiliki SIM A) sebelum kemudian justru beralih menjadi motorbike traveler demi penghematan biaya jalan jalan.

Untuk foto foto dan vidio, saya ambil gabungan dari 2 roadtrip terakhir, yaitu juni 2019 dan januari 2020, untuk perhitungan biaya saya gunakan januari 2020, sedangkan untuk ceritra saya gunakan yang juni 2019 karena timeline gmap nya paling komplit dimana saat itu  Hp saya hampir selalu hidup.

Tujuan mudik kali ini, untuk menghadiri upacara Ngaben masal dari 2 kakak misan saya yang  keduanya adalah anak laki laki dari kakak perempuan kandung nomer 5 dari Bapak (Bapak saya no 11), dimana keduanya meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan karena sakit.

==Kamis 20 Juni 2019==
Awalnya saya merencanakan berangkat jam 21.00 wib, mengingat saat itu sedang proyek pembangunan Tol layang Jakarta - Cikampek yang setiap harinya memulai pengerjaan jam 23.00 s.d 05.00 wib, agar mendapatkan kondisi lalulintas yang lebih lancar.

Akan tetapi Bapak saya baru pulang dari mengajar jam 22.00 wib, sehingga kami baru berangkat jam 22.21 wib.
Benar saja, baru masuk tol via GT Bekasi Barat, langsung disambut kemacetan yang lumayan, tapi selepas Krawang Barat relatif sudah lancar..
Muacett

Tercatat jam 23.54 wib kami baru tiba di rest area Km 57, tapi seperti biasa saya tidak pernah mau makan disini, selain alasan harga, rasanya juga tidak cocok dengan lidah saya, biar Bapak saya saja yang makan disini.


Selepas GT Cikampek lalulintas super lancar, tapi saya tetap menahan speed di 85-90 kpj saja.


==Jumat 21 Juni 2019==
Jam 02.54 wib kami tiba di rest area 207A (selepas Cirebon) dan disinilah saya baru makan masakan yang sesuai dengan lidah saya yang Indonesia banget, dimana warung2nya model kantin / warteg dengan 2,5 porsi nasi rames hanya kisaran 40 ribuan saja.

Menjelang pagi, diseputaran Semarang, entah setan apa yg merasuki saya, mungkin karena bosan, saya  bermain Hp untuk wa_an dan bikin video, JANGAN DICONTOH !!!



Jam 05.51 wib kami tiba di rest area 429, Ungaran Timur untuk sarapan, ngopi dan istirahat sejenak.
Ini pertama kalinya saya break di Rest area ini dan ternyata harga makanan masih terbilang bersahabatlah, sekalipun pilihannya sedikit.
Disini saya makan soto yang nasinya dicampur dengan porsi yang bisa dibilang hanya 1/4 porsi saya.



Selepas Unggaran, jalanan benar benar kosong melompong, hanya segelintir  saja kendaraan yang lewat dan kami tiba di Rest area 575A Paron, Ngawi- Jatim jam 08.10 wib.
Rest area ini masih gersang dan belum ada SPBU, tapi pilihan masakan tradisonal ala rumahannya sangat beragam, yang membuat saya sarapan kedua dengan 2 porsi nasi rames, tapi Bapak saya justru tidak makan disini (biasa dia sok higienis).

Di rest area 575A ini Bapak saya memaksa menggantikan saya agar saya bisa tidur, padahal saya masih segar bugar dan malah tidak akan bisa tidur kalau Bapak saya yang mengemudi.


Akhirnya, daripada ribut, saya mengalah saja, sekalipun saya harus super tegang dikarenakan Bapak saya ini pengemudi yang kasar, gradak gruduk, tidak sabaran, tidak tenang dan memiliki kontrol kesadaran yang buruk, untungnya saat ini dia sudah tua dan mulai sedikit membaik dibanding sewaktu muda dahulu yang bahkan waktu itu; cara mengemudinya lebih menyeramkan dibanding sopir metromini S79 (Blok M - Lebak Bulus) atau Koantas Bima 510 (Kp Rambutan - Ciputat) yang biasa saya naiki jaman kuliah dahulu.

Benar saja, kalau saya selalu menahan speed di 85-90kpj, saat saya lirik speedo, kecepatan mobil dibawah kendali aki2 sableng ini sudah 130Kpj (jalanan super kosong).
Untung saja memasuki simpang Waru (Surabaya) percabangan jalan di tol membingungkan bapak saya, ditambah lalulintas Surabaya - Gempol terbilang padat, sehingga Bapak saya menyerahkan kembali kemudi ke saya dengan alasan "daripada salah jalan" . hahahaha. (padahal dia tidak sabaran kalau macet / padat).

Jam 11.03 wib, kami sudah tiba di Leces, Probolinggo, sebagai ujung sementara Tol trans Jawa, saat itu ruas Grati - Leces masih gratis, tapi sekarang sudah berbayar dan tarif yang harusnya kami bayar 727.500, ternyata total yg kena debit dari emoney hanya Rp 717.000 saja, sekarang pun demikian dari tarif resmi Cawang - Probolinggo yg Rp 742.000, realnya didebit hanya Rp 735.000 saja (kalau saya tidak salah hitung).


Jam 11.51 wib kami berhenti makan di Resto Ocean Garden didaerah Gending, Probolinggo, yang ternyata Rumah makan ini sangat nyaman, ada hutan mangrove dibelakangnya, pemiliknya ramah (mantan pejabat), menunya beragam, harga relatif murah...tapi sayangnya...ayam kampung bakar plus cah kangkung yang saya pesan, cenderung tidak ada rasanya.


Selepas Probolinggo, jalur relatif padat dan jam 14..02 wib kami baru tiba di SPBU Utama Raya, Situbondo untuk mandi dan ternyata toilet VIP nya naik dari Rp 7.000 ke Rp 10.000.
Idealnya sih harga cukup 3X dari toliet biasa yg 2.000, apalagi bonus sabun & sampo pada toilet VIP terbilang mubazir buat Backpacker / Bikepacker seperti saya yang selalu siap peralatan mandi kemanapun pergi.

Memasuki Baluran, ada 2 atau 3 titik perbaikan jalan yang cukup mengherankan buat saya; "kenapa hampir setahun 2X jalanan diperbaiki, tapi yang mulus tetap yang disisi timur saja??".

diambil Januari 2020 dgn Fuji S2950 yg direkatkan
ke dashboard
Jam 17.56 wib kami tiba di Pelabuhan Ketapang dan 18.49 wib (19.49 wita) merapat di Gilimanuk.
Sempat berhenti makan di Tabanan dan akhirnya jam 23.12 wita tiba di Kampung saya di Sidan, Gianyar (33 Km ditimur Denpasar).

Total waktu tempuh kali ini 23 jam 51 menit, mungkin dianggap cepat bagi yang baru baru saja ke Bali, tapi kalau menengok 2 - 2,5 dekade ke belakang. saat itu Tol hanya Jakarta - Cikampek dan Gresik - Gempol dimana total tarif (2001) Tidak sampai Rp 10.000; waktu tempuh saya juga selalu dikisaran 24 jam, waktu tempuh mulai molor menjadi rata2 30 - 35 jam setelah tahun 2003an, sedikit membaik sejak ada Tol sampai Pejagaan, tapi tetap waktu tempuh rata2 di 28 jam.


Kenapa sebelum 2001 waktu tempuh lebih cepat? karena saat itu masih Jakarta sentris, pergerakan ekonomi hanya seputaran Jakarta saja, sedangkan daerah diluar itu kosong, baru setelah diberlakukan OTODA, mobilitas perekonomian di Jawa - Bali kususnya, sangat tinggi bahkan sampai pelosok pelosok kampung, terasa sekali banyaknya truk membawa barang2 sampai kejalan Kabupaten, kondisi jalan juga jadi ikutan memburuk.



PETA JALUR DAN INFO

BIAYA POKOK YANG DIKELUARKAN :
1) Bensin Pertalite =    Rp 750.000
2) TOL =                         Rp 745.000 (biasanya adsa diskount)
3) Ferry =                      Rp 159.000 (hnaya busa dibayar degn emoney bank pemerintah)
-------------------------------------------------------------- +
Total biaya pokok =  Rp 1.654.000