Sabtu, 11 November 2017

Jelajah Sunda Kecil & Lorosae, Bagian 2 (Pulau Bali)

Selasa, 19 september 2017
Om swastiastu, Sugeng Rauh Ring Bali
Jam 00.00 wib atau 01.00 wita saya merapat di Gilimanuk dan setelah puliuhan atau bahkan ratusan kali saya ke Bali via darat, saya yang secara Patrialkhat adalah orang Bali (dari Bapak) dan secara Matrialkhat adalah orang Minang (Ibu saya orang Minang yang menganut paham Matrialkhat), selalu merasa aman, damai tentram & sangat nyaman setiap memasuki Bali, tidak heran kenapa orang luar menyebut Bali sebagai Pulau Dewata.

Kalau biasanya jika ingin ke Kampung saya di Sidan, Gianyar saya selalu memilih via utara atau utara kemudian masuk ke tengah, kali ini saya via selatan saja, karena masih dinihari dimana lalulintas masih sangat sepi. Benar saja, jalanan super kosong saat itu, tapi kali ini speed saya cenderung santai.

Jam 04.30 wita saya membuka gerbang rumah saya di Sidan, Gianyar, kalau sebelumnya saya selalu disambut teriakan melengking dari Iwa (kakak perempuan tertua ayah saya) dengan teriakan khas nya:"Ye Ratu, panak tiang'e Mulih" (ya tuhan, anak saya pulang)...tapi setelah beliau tiada,, tiba2 ada teriakan dengan nada yg sangat berbeda terdengar dari dalam  kamar depan, suara berat, keras & lantang : "SIAPA ITU ?? REVAN.... REVAN....."  Itu suara Ayah saya yang sepertinya mengenali suara motor saya.


Kaget sekali saya, sekalipun saya tahu Ayah saya pulang ke Bali Sabtu kemarin, tapi biasanya Minggu malam atau Senin subuh dia sudah balik lagi  ke Jakarta, karena sekalipun sudah pensiun, jadwal mengajarnya di sejumlah Universitas di Jakarta masih padat.


Malas sekali saya bertemu Ayah saya, karena jadi tidak bebas, bahkan tidak bebas merokok & ngopi...Saya putuskan akan putar balik saja sebelum ketahuan dan menginap di rumah saudara, tapi siyal...tiba2 kakak misan saya yang tinggal di  rumah depan keburu melihat saya.....

Sekalipun saya belum tidur, tapi daripada menghadapi interogasi Bapak saya, saya putuskan jalan2 pagi saja ke Bukit Djati untuk melihat Sunrise.


Untuk ke Bukit Djati yang sebenarnya lokasinya sudah masuk kabupaten Bangli (kampung saya terletak diperbatasan kabupaten Gianyar - Bangli) selain ada jalur trekking yang melewati pesawahan, juga sudah ada jalan aspalnya sampai tempat  parkiran kendaraan, tapi tetap harus trekking juga sedikit melewati hutan Kota milik PemKab Bangli.


Kali ini saya berangkat nya lewat jalan aspal, pulangnya baru lewat area pesawahan sekalian mandi di pancoran, yaitu tempat mandi umum tanpa atap dimana airnya langsung mengalir dari mata air yang sangat jernih & segar.







Sayang cuaca agak mendung, tapi lumayanlah, sunrisenya masih bisa terlihat sedikit : 



Yang dibawah itu sawah milik pekak (kakek) saya, dimana ada bagian yang disewakan untuk BTS Telkomsel:








Jumat, 22 september 2017



Langsung Lompat ke Hari Jumat 22/9/2017 ya, karena weekdays saya tidak jalan jalan.

Sampai hari ini saya belum ada kepastian, kapan akan berangkat ke Kupang & lanjut ke Timor Leste, yasudah...daripada pusing, saya iseng saja foto2 pesawat di Pantai samping bandara, sambil menunggu Sunset, tapi siyal, hanya beberapa menit sebelum sunset, saya sudah di telpon disuruh kembali.





Sebenarnya sudah sebentar lagi akan Sunset, tapi......yasudahlahh :





















Sabtu, 23 september 2017

Masih belum ada kejelasan juga, kapan saya bisa lanjut touring, tapi karena saat ini adalah weekend, saya gas tipis tipis dulu ke arah Kintamani, dimana nanti siang saya ada janjian dengan beberapa rekan dari Denpasar & Jakarta.

Saya sengaja berangkat agak Pagi, karena saya ingin mampir ke Desa Pinggan yang terkenal akan Sunrise nya yang dahsyat, tapi bukan untuk sunrise, saat itu jelas sudah kesiangan, tujuan saya untuk melihat Pura Dalam Balingkang yg kental sekali nuansa Tiongkok nya.

Sebelumnya saya mampir terlebih dahulu di warung Babi guling depan Pasar Kintamani untuk 2 porsi Babi guling yang menurut saya rasanya lumayan ini
Babi Guling Kintamani
Kemudian saya melanjutkan perjalanan, dimana untuk ke Desa Pinggan itu tidak sulit jalannya, jadi: kalau sudah melewati Pasar Kintamani, terus saja ke Utara (arah SIngaraja) sampai Pura Puncak Penulisan dan belok kanan (timur) dijalan menanjak tepat disamping Pura tersebut.

Setiap bertemu pertigaan selalu belok kanan, dan kalau bertemu tempat ini artinya sudah dekat:



Lanjut sekitar 1 km dari tempat berhenti tadi, maka akan terlihat tanah lapang disebelah kanan jalan, itulah Sunrise Spot nya,atau kalau terlewat, patokannya:  posisinya sekitar 300 meter sebelum Pura Dalam Balingkang yg bentuknya paling mencolok & gampang dikenali karena bernuansa Tiongkok.








Dari Desa Pinggan, sebenarnya ada jalan langsung ke Soongan yang sekalipun Offroad & curam tapi masih bisa dilewati kalau dengan motor laki, sayangnya saya sudah janji bertemu dengan rekan2 dari Denpasar di Penelokan, maka mau tidak mau saya kembali ke Jalan Utama.


Jalur utama Buleleng - Kintamani ini sebenarnya juga indah, tapi karena saya sudah kelewat sering melewatinya jadi terkesan biasa saja.
*Foto ini diambil selasa 19 september (hari pertama saya tiba di Bali) sewaktu saya pulang hunting Kopi di Desa Catur & Desa Dausa.
Andini tanpa top Box malah terlihat edpencur banget hehe

Tentang Kopi Bali
Sebagian besar orang Bali yang saya kenal, beranggapan bahwa kopi Bali merk "set*a Bali lah yang paling enak, tapi buat saya; Kopi dari Desa Catur & Belantih lah yang paling pas, sayangnya pabrik Penggilingannya tidak ada di desa Catur, adanya justru di Desa Dausa.        Tenang saja, jika tidak mau jauh2 ke pabriknya, warung2 di seputaran Kintamani umumnya menjual seharga Rp 16.000 untuk ukuran & kemasan seperti terlihat pada gambar di bawah & Rp 70.000 untuk yang berukuran 1 kg.
Ukurannya bermacam macam tapi yang 16rb ini seginilah ukurannya:, dibanding baseplate top Box saya:

Sesampainya saya di Penelokan, Kintamani, ternyata rombongan dari Denpasar belum tiba, saya putuskan menunggu di Warung diseputaran Jalan batur Tengah, dimana menurut saya selain lebih sepi, view nya juga lebih alami:


Setelah Semua rekan2 dari jakarta & Denpasar berkumpul, kami langsung menuju Bukit Sari, Soongan dengan saya sebagai guide dadakan (gratisan pulak hehe)..


Jalan ke Bukit Sari Benar2 membingungkan, kita tidak bisa berpatokan kepada GMAP yang ternyata ngawur itu, jadi gampangnya, kalau dari Penelokan turun ke arah Danau dan sampai di Kedisan belok Kiri ke arah pos pendakian Gn Batur, kemudian ikuti petunjuk ke arah kePemandian air panas Toya Bungkah. Dari Toya Bungkah mengarah ke Pura Hulundanu batur (sampai sini saja GMAP sudah ngawur), kemudian ambil jalan yang kekiri, setelah melewati semacam pasar di Soongan belok kanan, terus saja sampai jalan aspal mengecil, belok kanan ke arah jalan agak kecil yang menanjak curam, begitu bertemu perkampungan pertama belok kanan ke jalan semi offroad yang menanjak curam, kemudian belok kanan lagi ke jalan tanah selebar kira2 1 meter (hanya cukup untuk motor).


Idealnya di Bukit Sari, Soongan ini sih Camping, karena Sunrise nya bagus sekali, tapi sepertinya beberapa barengan saya kali ini yang dari jakarta mentalnya kelewat jelek, malah ada yg putar balik begitu mengetahui kondisi jalan ke arah Bukit sari, Soongan....Jujur itu sangat merusak mood rekan2 yang lain yang awalnya sudah berniat camping.


*Untuk alasan privacy beberapa orang rekan, Foto yg pas di Bukit Sari diganti dengan yg disebelahnya saja ya, yang kebetulan tidak ada mereka, tapi nanti di Blog kusus Bali dimana saya sedang trip sendirian akan saya posting









Untuk alasan privacy juga, cerita hari ini sampai disini saja ya, yang pasti trip hari ini masih berlanjut menuju Danau Tamblingan untuk bermalam, dimana kami baru tiba jam 21.00 wita ditengah dingin, kabut, hujan & sepi.


Minggu, 24 september 2017

Sudah Jam 13.00 wita semua rekan saya sudah balik dan saya sudah sendirian menunggu hujan & kabut yang tidak juga menghilang dari tadi malam untuk sekedar bisa mengambil foto, dan siyalnya bahkan sampai saya kembali pulang, hujan & kabut malah semakin menggila, untungnya ada beberapa moment saat hujan sempat berhenti & bisa mengambil foto.







Danau Tamblingan ini sangat ideal dijadikan tempat camping bagi para pemula, sekalipun kalah populer dibanding tetangganya (Danau Buyan), tapi disini aura nya lebih syahdu hehe.
Disini bisa camping disisi sebelah kiri yang dekat MCK & ada beberapa Saung permanen yang cukup luas seperti foto diatas atau disisi sebelah kanan yang lebih luas tapi jauh dari MCK, bahkan didalam hutannya kearah Pura Pande, saya melihat beberapa spot Camping yang sangat keren.











Di danau Tamblingan ini juga banyak Pura & sering dikunjungi oleh masyarakt lokal yang hobby mancing:






Danau ini juga menjadi tempat mancing favorit bagi warga lokal, ada yang memancing dari pinggir ada yang menggunakan perahu seperti terlihat di belakang motor saya ini: sesaat sesudah hujan reda (tapi kemudian hujan lagi hehe):


Sekitar Jam 16.30 Wita, akhirnya saya pulang ke Sidan dan tiba pukul 19.00 wita, dengan hujan yang masih setia menemani.

Sepertinya Bali sudah masuk musim hujan, bukan hanya dataran tinggi saja, tapi didataran rendahnya juga sudah mulai hujan.

PETA 23 & 24 September 17 (251 KM)


Selasa, 26 september 2017
Akhirnya, berita yang saya tunggu tunggu datang juga, bahwa; saya bisa berangkat ke Kupang, Atambua & Dilli, rasanya seperti mendengar berita PSSI lolos piala Dunia hehehe.

Awalnya saya men setting keberangkatan tengah malam dari kampung saya seperti kebiasaan saya sebelum sebelumnya nya, dimana saat tengah malam ombak lebih tenang & dapat Sunrise di Selat Lombok, karena itu saya putuskan gas tipis terlebih dahulu ke Anjungan Tukad Melangit di Tembuku, Bangli yang relatif  dekat jaraknya dari kampung saya (19 Km), diiringi gerimis manja yang masih betah saja menggangu dari subuh.

saya berangkat sekitar jam 08.00 wita dan jam 08.25 wita sudah tiba Tiba di Anjungan Tukad melangit yang sebenarnya, adalah
  tanah milik pribadi yang dijadikan tempat ngehits  buat para pasangan ber selfie & wefie ria, hal mana justru membuat saya (yang merasa tidak muda lagi)  sebelumnya jadi malas mengunjunginya, tapi karena hari ini hari kerja (selasa), masih pagi dan hujan pulak, pasti sepi disana.


Tempatnya cukup asik untuk ngopi, apalagi saat itu hanya kami saja pengunjungnya:












Ternyata Sesejen itu tidak hanya berguna buat mahluk gaib, tapi berguna juga untuk mahluk hidup, seperti burung ini yang memakan sesajen



Disini juga ada tempat nongkrong, terdiri dari beberapa meja makan :





Saat itu kami merasakan 2X getaran genpa dari Gunung Agung yang sedang batuk, dimana posisi gunung agung berada sejajar di timur tempat ini dan kami sedikit was was anjungan ini ambruk, sehingga kami putuskan berjalan jalan saja di tempat ini yang juga ada wisata petik jeruk, beberapa hammock, kupu2,  lambang love dll buat selfie, tapi saya tidak tertarik memfotonya, saya hanya tertarik bermain ayunan saja, (foto ke 2 menggunakan automatis Shutter) :




Mempercepat Keberangkatan :

Awalnya kami ingin melanjutkan ke Kintamani sekalian mencoba jalan desa ini yg menurut info dari warga lokal bisa tembus ke Kintamani atau bisa juga tembus ke arah jalan Besakih - Kintamani, tapi setelah saya pikir masak masak; lebih baik saya mempercepat keberangkatan dimana nantinya saat melewati Lombok yang macet & Sumbawa yang super panas (Pototano - Empang),  saat masih gelap saja, apalagi saya tidak berniat foto2 ataupun eksplorasi Lombok & Sumbawa yang sudah sangat sering saya lewati dengan motor.

Jam 11.30 wita saya sudah memacu Andini di Bypass Ida Bagus Mantra menuju Pelabuhan Padangbae (26 km dari kampung saya), saat itu penjagaan oleh polisi & TNI sangat ketat di Bypass, karena sedang ada kunjungan Presiden jokowi menengok Gunung Agung yang sedang demam.


Sekitar Jam 12.00 Wita saya & Andini sudah berada diatas kapal yang membawa kami menyebrangi selat Lombok.


Peta Sidan - Antugan - PadangBae (64 Km)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar