Sabtu, 13 September 2014

Jelajah Andalas Sampai ke Pucuknya (Sabang) Bagian 4

8 Agustus 2014 D=11 (Merek-Tele-Samosir-Prapat-Balige)
Peta Jalur untuk hari ini: Peta Jalur Merek-Tele-Samosir
Jam 06.30 dengan kepala yg masih pusing saya melanjutkan perjalanan menuju Tele, karena saya hendak masuk P Samosir via darat, ternyata antara daratan Sumatra & P Samosir itu ada jembatan yg dibuat pada jaman kolinial Belanda.

jam 06.30 ini di Sumut mirip dengan jam 05.00 di Jawa, masih gelap dan udara sangat dingin yg memaksa saya melapis jaket saya dengan jas hujan yg tebal, selain itu memang sedang gerimis. Saya mengarah ke Sidikalang-Dolok Sanggul dengan jalur yg sangat mulus penuh dgn pemandangan indah serta tikungan menantang, Saat melewati perbatasan kab Tanah Karo dan Kab Dairi ada sebuah perasaan sedih hendak berpisah dgn tanah Karo yg terlanjur saya cintai ini..Saya pasti akan kembali ketempat ini, setelah misi saya & Andini (Motor saya) mengelilingi Nusantara selesai nanti (entah kapan).
Sedikit mengenai kabupaten Dairi ini: Menurut sejarah, Sisingamangaraja XII pernah Tinggal di Dairi Pakpak ini sewaktu perang menghadapi Belanda  dalam Perang Tapanuli (1878-1907).


Tiba di kota Kec Sidikalang (Kab dairi),  saya mencoba icon lain dari sidikalang selain duren, tak lain adalah: "kopi sidikalang" yg ternyata rasanya lebih dahsyat dari kopi Aceh, saya sempat membeli 2 bungkus utk dibawa ke Jakarta, sayang tertinggal saat makan di sebuah warung .


Dari Sidikalang, saya juga tidak langsung belok kiri kerah Tele, saya sempatkan lurus dahulu mengunjungi Dolok Sanggul, hanya sekedar mencicipi jalurnya saja saja. Dari Dolok Sanggul saya kembali ke arah Sidikalang (utara) dan belok kanan (kiri kalau dari arah Sidikalang) mengarah ke Pangururan, dibagian ini jalan sedikit jelek dan berlubang sampai kemudian di sebuah pertigaan saya belok kekiri dan melihat sebuah plang bertuliskan "selamat datang di Kabupaten Wisata Samosir"

Sepanjang perjalanan saya sempat mengambil beberapa foto, tapi lupa lokasinya, yg pasti itu antara Merek-Sidikalang-Dolok sanggul tapi belum sampai Tele:





 Tidak jauh dari Plang selamat datang kabupaten Samosir, saya mellihat Menara Pandang Tele, tertulis di monumen tsb, bahwa menara pandang ini diresmikan pada 1988 oleh Bupati Tapanuli Utara saat itu; Drs G Sinaga. Sayang sekali tempat yg digunakan untuk memandang P Samosir ini dan konon bisa melihat Sunrise sekaligus sunset yg indah ini terlihat kurang terawat.

Tarif masuk + parkir di Tele ini sangat murah hanya, seharga Rp 2.000 dimana yg menjaganya, seorang wanita berusia 30an dengan wajah mirip seorang rekan saya boru batak di Bekasi, hehehe. Saya teringat ucapan Brian May (Gitarisnya Queen) Saat hendak menyanyikan lagu "39", bahwa 30 tahun dia tidak berkunjung suatu tempat, tapi wajah2 tsb terlihat sangat familiar dengannya padahal saat dia terakhir ke tempat tsb, orang2 tsb bahkan belum lahir..Begitupun yg saya rasakan, saya belum kenal atau bahkan belum pernah ke tempat tsb sebelumnya, tapi banyak tempat & wajah yg terlihat sangat familiar dengan saya. 

Dari Tele ini selain bisa melihat danau Toba & P Samosir, terlihat juga banyak air terjun dari kejauhan, saya berjanji dalam hati: "suatu saat saya akan kembali kesini dengan motor saya dan akan mengunjungi satu persatu seluruh air terjun tsb....
view dari tele:








Mumpung ada pengunjung lain, minta tolong difotoin ahh
Perjalana di lanjutkan menuju Pangururan, P Samosir. jalanan menurun berkelok dan sangat curam, tapi memiliki view sangat yg indah. Setelah melintasi sebuah Jembatan, akhirnya saya tiba di Kota Kec Pangururan yg merupakan Ibukota dari Kab Samosir, Samosir ini memiliki 9 kecamatan; 6 diantaranya ada di P Samosir & sisanya ada di lingkar luar danau Toba. Memasuki P Samosir tujuan pertama saya adalah musium batak Dance, ketertarikan saya akan asal usul & budaya batak, membuat saya lama berbincang bincang dengan seorang bapak tua yg sayangnya kurang fasih berbahasa Indonesia, untungnya saya dibantu seorang wanita muda baik hati yg juga lama tinggal di jakarta dan wajahnya juga mirip dengan seorang sahabat saya boru batak yg tinggal di Bandung, hanya bahunya tidak bidang seperti rekan saya tsb, yg sekalipun terlihat "gagah" sbg wanita tapi berhati lembut, polos & baik hati hehehe. 

Saya Sempat mendengar cerita tentang Begu Ganjang juga loh, plus Agama Parmalim yg merupakan agama asli indonesia sama spt Sunda Wiwitan (Baduy, Ciptagelar dll di Jawabarat), Danom Kaharingan (Dayak), Wektu Telu (Sasak) dll.

Memasuki area musium ini, sebagai seseorang yg sejujurnya "tidak terlalu religius" dan sama sekali tidak memiliki darah Batak, saya menjadi teringat sebuah filsafat batak yg pernah saya baca dari sebuah buku: "Ingot tu debata mulajadi nabolon" (Ingat dan takut kepada tuhan), Suasananya benar2 mengingatkan saya akan perkampungan tradisional Bali  ..kok kek Dejavu lagi yaks..sudahlah lanjut foto2 saja:


Melihat foto saya sendiri, akhirnya saya paham, mengapa saat
saya sendirian malam2 melintasi daerah2 rawan di Sumatra,
tak satupun begal yg menggangu saya; ternyata:
wajah saya justru terlihat seperti kolega mereka (para begal) hehe





Saat hendak melanjutkan perjalanan, masalah yg biasa saya hadapi kembali terjadi; "konci motor saya hilang"..yasudah saya minta tolong anak2 kecil disitu untuk mencarikannya, dengan janji akan saya berikan imbalan, saya kemudian melanjutkan ngobrol2 santai dengan wanita tsb yg ternyata juga sangat tertarik dengan dunia traveling.
30 menit kemudian konci saya berhasil ditemukan terjatuh tidak jauh dari pos restribusi ..saya lgs berikan uang buat hadiah kepada anak2 tsb dan lanjut. Saya sempat mengunjungi kebun raya samosir yg merupakan kebun raya ke 2 di Indonesia setelah kebun raya Bogor serta beberapa tempat lain, sampai bat kamera saya tewas..untungnya saat hendak menyebrang kembali ke Prapat berhasil mendapatkan bat baru di sebuah warung.






biar kek ank motor, moto di gapura hehe
Puas menjelajah P Samosir, sekitar jam 18.00wib (disini jam 18.00 masih terang) saya menuju dermaga Tomok utk menyebrang kembali ke Prapat. Jika menggunakan Ferry maka akan membutuhkan waktu 1 jam, sedangkan dengan Perahu bermesin Fuso hanya 1/2 jam saja. Ohh iya mengapa saya memutuskan tdk menginap di Samosir. karena penginapan di Tuk Tuk atau Tomok relatif mahal, sedangkan saya hanya sendiri tanpa rekan share cost, selain itu agar saya bisa mencapai Bukit Tinggi esok harinya, sebelum terlalu gelap. penyebrangan motor + orang ternyata hanya RP 13.000.
Di dermaga ini saya mendapatkan banyak kenalan baru & informasi, diantaranya seorang asal Kisaran yg punya villa & kebun di Dekat Tomok..bapak ini berwajah mirip mantan Pangab RI yaitu: Jendral Purn Wiranto hehe, selain itu ada seorang pemuda Samosir yg tinggal di Balige, 2 org ladies Backpacker asal medan & Bandung, ABK, petugas dermaga dll.




Sesampainya di Prapat, saya sempat mencari penginapan, dengan maksud awal, agar tidak kehilangan pemandangan indah saat menyisir danau toba dari Prapat sampai Balige, ternyata mahal2..yasudah, setelah makan disebuah tempat dengan view yg indah, saya melanjutkan perjalanan menuju Balige..penyesalan terbesar saya dalam trip kali ini, sepertinya saya melewatkan keindahan sisi luar Danau Toba (karena sudah gelap), akhirnya utk menutupi kekecewaan saya ngebut gila2an saja di jalur ini sambil menikmati setiap tikungan karena sudah tidak bisa tengok tengok & memfoto pemandangannya.



Tiba di Kota Balige, kota ini cukup ramai dan sangat bernuansa Batak Toba, termasuk ada Onan balige yg terkenal itu (pasar tradisional) dipinggir jalan dgn bangunan khas Batak. Di Balige ini sebenarnya juga ada air terjun tertinggi di Indonesia, yaitu "Sigura gura" sayang saya tdk sempat mampir.

Akhirnya saya mengambil penginapan tdk jauh dari pasar yg cukup nyaman seharga 100rb, dan saat hendak reservasi..saya sempat KAGET melihat pemiliknya seorang wanita muda Batak cantik & lembut yg hampir 100% mirip teman trip saya yg juga berdarah Batak Toba yg tinggal di Cakung, Jakarta timur  (*semoga orangnya ga baca) #Sumpah dari wajah, bentuk tubuh, suara, gaya dll Mirip kek kau kali Ito..hehehe.

Hal unik lainnya dari kota balige ini adalah, bentor nya menggunakan Vespa.

Saat saya hendak mencari makan, tiba2 muncul beberapa Bikers Sumut, yg langsung menculik saya ke sebuah Cafe terapung  (alamat ga bisa bangun pagi lagi nih besok), tapi Cafe tsb keren, dan bisa request lagu, seperti biasa saya request lagu batak favorit saya "Didia Rokkaphi". Ohh iya disini kami go Dutch (bayar sendiri sendiri), karena prinsip touring saya tidak pernah mau menyusahkan tuan rumah.



9 Agustus 2014 D=12 (Balige-Tarutung-Sibolga-Tarutung-Sipirok-Sidempuan-Bukittinggi)
Jam 06.30 wib saya sudah meneruskan perjalanan, sejujurnya masih sangat ngantuk & lemas, tapi untungnya saya sama sekali tidak sedang dalam pengaruh alkohol, Perjalanan awalnya menuju Tarutung, dan sampai disebuah pertigaan dimana yg kekiri ke Sipirok-Padang-Sidempuan dan yang terus ke Sibolga..
Keduanya merupakan jalur utama yg dilewati bis Medan - Padang (sekalipun jarang), Saya ingin mencicipi jalur Tarutung - Sibolga, tapi ingin juga melewati daerah Sipirok - Rao - Bonjol dll yg merupakan obsesi saya sejak SMP setelah membaca buku Tuanku Rao Yg bercerita tentang salah satu sejarah kelam bangsa kita.

Akhirnya setelah bertanya dengan seorang polisi, saya memutuskan utk ke Sibolga dahulu dgn jarak 62 Km (2jam waktu Tempuh) baru kemudian kembali ke Tarutung utk menuju Sipirok. benar saja, ternyata waktu yg saya butuhkan utk PP Tarutung - Sibolga sejauh 124 km hanya 3 jam saja.
Prapat-Balige-tarutung-Sibolga-tarutung-Sipirok-Sidempuan-BukitTinggi

menjelang memasuki Kota Sipirok, saya melihat jalan yg mirip di Nagrek, jawa barat, dimana bukit dibelah:

Memasuki Madina (Mandailing Natal), saya sempat tertawa mendengar warga banyak yang memasang lagu lagu minang, saya jadi teringat alm nenek saya dari pihak Ibu yg berasal dari Pariaman, Sumbar. Memang orang Batak mandailing ini memiliki kedekatan karakter & budaya dengan orang Minang, karena dekat perbatasan Sumbar, umumnya mereka juga menguasai bahasa Minang.
Berbeda dengan hari2 sebelumnya, hari ini cukup terik, sehingga akhirnya saya berhenti disebuah sungai utk membasuh wajah dan bersantai sejenak


Selesai main di Sungai, saya menuju ke sebuah warung yg berada tidak jauh disebrang jalan, dari perbincangan dengan seseorang warga bermarga Lubis, saya mendapat info kalau sungai ini biasanya airnya deras dan dalam bahkan pernah beberapa kali meluap (banjir bandang) sampai memakan banyak korban jiwa, tapi karena sudah 3 bulan tidak turun hujan, maka jadi seperti itu....Spontan saya lemas mendengarnya, karena sudah mengetahui apa yg sebentar lagi akan terjadi, saya menengok ke Gunung Sorik Marapi yg sejak saya masuk Kab Madina ini sampai posisi saya saat itu di KotaNopan (32 km menjelang perbatasan Sumut - Sumbar) terlihat cerah & sangat jelas, tiba2 nyaris tak terlihat lagi dan gelap, padahal saat itu baru sekitar jam 15.30 wib, terbayang saya harus melewati daerah dataran2 tinggi yg dingin dalam keadaan sepatu, kaos kaki & pakaian basah (saya memang tidak menggunakan sepatu boot utk touring lebaran ini, karena biasanya udara selalu cerah di Bulan Agustus)  . Benar saja hujan intensitas sedang segera turun dan alhamdulilah berhenti saat saya memasuki perbatasan Sumbar.
View kiri jalan didekat perbatasan Sumut-Sumbar
Memasuki Sumbar saya berhenti di Tugu Tuanku Rao:

Setibanya di Lubuk Sikaping, saya kembali berhenti:


Perjalanan berlanjut dan saya tiba di Tugu garis khatulistiwa dibonjol:

Perjalanan berlanjut, dibagian ini saya benar2 menikmati setiap tikungan2 dengan kecepatan tinggi sambil menyalip setiap kendaraan yg ada didepan saya untuk melawan dingin & ngantuk, benar2 tak terlupakan saat itu dan sekitar jam 19.30 saya tiba di Bukit tinggi, disini saya mengambil penginapan seharga Rp 100.000/hr (tadinya 150rb, tapi setelah mengetahui Ibu saya orang minang, maka 50rbnya dikembalikan), penjaga penginapan ini mirip dengan Sutan Syahrir salah seorang bapak bangsa kita. Di Kota kelahiran bung Hatta ini saat itu sangat ramai karena bertepatan dengan Malam minggu dan saat makan di sebuah Cafe, saya sempat bertemu dengan beberapa traveler asal jakarta, Bandung, Pekanbaru dll.
FYI: Sekedar mengingatkan: Di Sumatra Barat ini, selalu tanya harga sebelum memesan / membeli sesuatu dimana saat mereka melihat pendatang, kita langsung digetok dengan harga selangit, untungnya saya bisa berbahasa Minang dan memang memiliki darah minang  (Nenek dari pihak ibu), sehingga kalau dilihat secara Matriarkat maka saya adalah orang Minang hal mana membuat saya selalu mendapatkan harga yg murah dan tidak pernah digetok, tapi bagaimana dengan saudara2 kita wisatawan asal daerah lain?? Ayah saya yg notabene adalah Sumando, dan sering berdinas ke Sumbar bahkan berkali kali sampai menasihati beberapa pedagang di Singkarak, Bukittinggi dll agar tidak membuat wisatawan kapok, yg jelas akan mematikan pariwisata Nagari (Sumbar)..


















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar